Mbah Hamid Pasuruan



Kalau membaca judul di atas, kayaknya yang bisa mengalaminya pasti hanya orang tertentu dan mempunyai keistimewahan tersendiri. Ya, bisa dipastikan orang tersebut adalah hamba Allah yang mendapatkan nilai lebih dari-Nya.
Mungkin anda sekalian pernah mendengar cerita tentang kyai Abdul Hamid Pasuruan? Kyai yang memiliki akhlaq sangat mulia dan sopan dalam bermasyarakat ini mulai beliau hidup hinga wafat sekalipun terus menjdai panutan dan figur bagi penduduk tanah Jawa khususnya masyarkat Pasuruan.
Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar atau membaca tentang sejumlah karomah yang dimiliki kyai kelahiran kota Lasem Jawa-Tengah ini. Sedangkan karomah itu sendiri bisa diketahui sebagai satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang tertentu, yang menjadi kekasih-Nya, dan yang selalu takut kepada-Nya dimanapun ia berada. Karomah tersebut biasanya keluar dengan sendirinya tanpa diduga alias langsung dari Allah SWT. Nah, kalau kita bahas tentang karomah pastinya kurang lengkap kalau hanya sebatas keterangan saja. Kali ini penulis mencoba kembali mengungkap salah satu keistimewahan atau karomah yang dimiliki kyai Abdul Hamid.
Alkisah dahulu di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Klaten, di dalamnya terdapat suatu kampung, yang warganya pernah mengalami kejadian aneh yang sempat membuat semua warga di dalamnya merasakan rasa ketidakpercayaan atas kejadian yang dialaminya. Berikut ceritanya,

Dalam satu komunitas masyarakat, baik di daerah, di kampung, pedesaan, kecamatan, kota, maupun provinsi, pasti mempunyai orang yang di percaya oleh penduduknya sebagai orang yang mumpungi atau pandai akan ilmu agama atau dengan kata lain orang tersebut biasa kita panggil sebagai tokoh masyarakat. Nah, pada satu ketika, tokoh masyarakat di daerah Klaten yang bernama Fulan (bukan nama asli) tersebut kedatangan tamu dari luar kota, tamu tersebut mengaku bernama Kyai Hamid. Setelah berbincang-bincang dan mengutarakan maksud kedatangan si tamu ke daerah tersebut, kyai Hamid langsung menjalankan misinya sebagai seorang Da’i, yakni berda’wah.

Misi kyai Hamid sebagai seorang muballig kian hari berjalan dengan lancar dan menunjukkan perkembangan. Dalam sederetan agenda da’wahnya beliau memulainya dengan mengadakan pengajian rutinan yang diikuti oleh warga sekitar, yang bertempat di Masjid di daerah tersebut. Semakin hari pengajian kyai Hamid mampu menarik warga setempat untuk selalu mendatangi pengajian yang dibinanya. Setiap minggunya bisa dibilang jumlah jama’ah yang hadir dalam pengajian tersebut terus bertambah, hingga melebihi kapasitas ruangan dalam Masjid tersebut. Hingga beberapa bulan kemudian, jumlah yang mengikuti pengajian kyai Hamid meluber sampai ke pelataran Masjid. Melihat jama’ah pengajiannya begitu banyak, dan juga mendapat respon baik dari warga setempat, akhirnya muncullah keinginan kyai Hamid untuk membangun sebuah pesantren di desa itu. Beliau mempunyai anggapan, mungkin sebagian warga suatu saat akan mengirim anak-anak mereka untuk mengaji dan menimba ilmu di pesantren orang yang belum lama mereka kenal dan menetap di sana.

Alhasil pesantren yang di bangun kyai Hamid perlahan banyak di datangi anak-anak warga setempat untuk nyantri. Dengan di bantu tokoh masyarakat yang menjadi orang pertama yang dikenal kyai Hamid sekaligus yang banyak membantu da’wah beliau di daerah tersebut. Sesuai dengan amanat yang diberikan kyai Hamid kepadanya, dia mengkelola pesantren itu dengan baik. Melihat keadaan pesantren yang semakin hari semakin membaik, pesantren pun pada akhirnya dipasrahkan kepada tokoh masyarakat tersebut. Beliau juga berpesan agar selalu menjaga dan merawat pesantren yang didirikannya itu dengan baik.

Di tengah-tengah semakin banyaknya santru yang mengaji di pesantren tersebut, tanpa bilang sepatah kata pun dan hendak ke mana, kyai Hamid pergi begitu saja tanpa memberi kejelasan kepada tokoh masyarakat tersebut dan warga setempat.

Dua tahun silam telah berlalu, kepergian kyai Hamid pun dari daerah tersebut menimbulkan tanda tanya dan mendorong rasa penasaran tokoh masyarakat untuk mengetahui keberadaan orang yang telah banyak berjasa di daerahnya tersebut. Dia ingat, sebelum pergi meninggalkan kampungnya dua tahun lalu, kyai Hamid pernah menuliskan sebuah alamat kepadanya.

Setelah mencari kertas yang berisikan alamat yang ditulis kyai Hamid, dia baca dan menganalisa di daerah mana alamat tersebut berada. Dan yang tertulis di dalamnya adalah alamat PonPes Salafiyah Pasuruan. Dia pun tanpa berfikir panjang berencana untuk mendatangi pondok tersebut.

Ke esokan harinya ia jadi berangkat ke Pasuruan. Setelah sampai di Pasuruan, ia pun kesana-kemari dan muter-muter mencari alamat yang ada disobekan kertas itu, hinga pada akhirnya alamat yang di maksud ketemu. Sesampainya di dalam pondok, dia menanyakan ke salah satu santri tentang kyai Hamid. Santri yang ditanyai pun sempat kaget dan heran, namun, kebetulan dia tahu bahwa salah satu kyainya itu adalah seorang wali besar, jadi, kalau kalau saat ini ada orang yang mencari kyai Hamid, mungkin orang tersebut pernah bertemu di daerah lain. Karena orang tadi bertanya rumah kyai Hamid, lantas dia menyarankan untuk sowan ke kyai Idris, yang saat itu menjadi Nadhir atau pimpinan pondok.
Sesampainya di ndalem kyai Idris, dia langsung bercerita panjang lebar semua yang terjadi dua tahun silam di desanya. Kyai Idris yang dari tadi hanya menjadi pendengar tidak percaya dan juga heran, “ha . . . , apa benar yang diceritakan bapak itu?” kata kyai Idris kepada Fulan tadi. “Iya betul, sungguh saya bertemu dengan kyai Hamid, lha wong saya juga sering salaman dengan beliau. Beliau juga sempat mendirikan sebuah pesantren di sana, tapi ditinggal begitu saja selama dua tahun, makanya itu saya kemari untuk menayakan kepada kyai Hamid, mengapa pondoknya di san kok di tinggal?” jelas si fulan. “Saya tadi kaget dan tidak percaya dengan cerita sampean, karena kyai Hamid sudah lama meninggal.” Ungkap kyai Idris. “Memang anda ini siapa? kok berani bilang kalau kyai Hamid sudah wafat?” tanya si fulan sambil menunjukkan rasa tidak terima terhadap apa yangtelah dikatakan kyai Idris kepadanya. “Saya putra kyai Hamid” jawab kyai Idris santai. Kini gantian si fulan tadi yang tidak percaya dan heran. “Kalau anda masih tidak percaya kyai Hamid itu sudah meninggal, mari ikut saya, saya akan tunjukkan makam beliau kepada sampean” Kata kyai Idris yang berusaha meyakinkan si fulan. Tanpa berpikir panjang, si fulan pun langsung mengiyakan ajakan beliau.

Berangkatlah keduanya menuju makam kyai Hamid, yang bertempat di komplek pemakaman di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan. “itu makam Abah saya” kata kyai Idris sambil menunjukkan makam kyai Hamid. Si fulan pun tidak percaya dan heran. Baru setelah menghampiri makam yang di maksud dan membaca sebuah nama yang tertera di batu nisan makam kyai Hamid, dia akhirnya mempercayainya. Tak lama kemudian dia menangis sejadi-jadinya, mulai jam delapan pagi sampai jam lima sore di depan makam kyai Hamid. Setelah puas menangis di depan makam kyai Hamid dia pun pulang dengan kabar yang sulit untuk dipercaya orang-orang di kampungnya, yakni desa Klaten.

Sesampainya di kampung halamannya, keesokan harinya dia mengumpulkan warga yang dulu sering mengikuti pengajian kyai Hamid untuk menyampaikan kabar yang dia bawa dari Pasuruan. Warga pun datang berbondong-bondong datang ke masjid untuk mendengarkan kabar keberadaan kyai Hamid yang telah menjadi tauladan bagi mereka. Setelah semuanya berkumpul, ia pun menjelaskan kanytaan yang dialaminya di Pasuruan. “Anda semua boleh percaya, boleh tidak. Yang penting berita yang saya bawa ini benar adanya.” Si tokoh mengawali pembicaraan kepada para warga. Lalu dia melanjutkan, “Sesungguhnya kyai yang selama ini menjadi Imam pengajian kita, yang sempat anda semua dan saya salami dan mencium tangannya, yang telah mendirikan pesantren di desa ini telah lama meninggal. Artinya, selama berada di sini kyai Hamid tersebut sebenarnya sudah lama wafat.” Mendengarkan berita darinya, warga pun langsung geger, dan banyak yang tidak percaya. Lalu untuk menjawab teka-teki yang sedang berkecamuk di tengah warga tesebut, dia menawarkan diri untuk mengantarkan mereka semua ke makam kyai Hamid. “Baiklah! kalau anda semua masih tidak percaya, silakan kalian menyewa Bus untuk pergi berombongan ke makam kyai Hamid di Pasuruan, dan saya yang akan menjadi pemimpin rombongan sekaligus penunjuk arah. bagaimana?” tawarnya. Semua warganya pun langsung menyetujui tawaran tersebut. Jadilah rencana mereka untuk pergi ke Pasuruan.

Setelah melewati perjalanan yang begitu panjang, akhirnya rombongan yang ingin mencari tahu kebenaran berita yang di sampaikan tokoh masyarakat mereka itu, sampailah mereka di depan alun-alun Pasuruan. Tak lama kemudian mereka langsung di giring oleh ketua rombongan untuk menuju makam kyai Hamid. Setelah sampai di areal pemakamam tersebut, si fulan tadi langsung berjalanan menuju areal pemakaman yang berada di dalam, dan langsung menunjukkan makam kyai Hamid, “itulah makam kyai Hamid” katanya sambil menyuruh warganya melihat lebih dekat lagi dan membaca nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Seketika itu semua rombongan yang diikuti seluruh warga kampung di Klaten itu menangis sejadi-jadinya. Tangis mereka menandakan rasa sedih yang begitu mendalam, sekaligus merasa heran karena sang kyai yang selama ini memimpin pengajian mereka, yang sering mereka cium tangannya, ternyata sudah wafat beberapa tahun lalu.

Subhanallah . . .kejadian di atas, kalau kita pikirkan dengan logika pasti tidak akan sampai. Tapi, yang mengalami adalah seorang wali yakni kekasih Allah. Dan kisah di atas menunjukkan atas kekuasaan yang dimiliki Allah SWT. Kita harus percaya semua itu, karena yang mengalami adalah seorang wali, orang yang taat dan selalu dekat dengan Allah. Jadi, kalau dia bisa terbang atau bisa mengalami hal di atas, itu semua keistimewaan yang diperolehnya atas ketaatannya kepada Allah, dan kejadian ajaib itulah yang kita sebut sebagai karomah. Baru, kalau ada orang yang tidak pernah sholat, males shodaqoh, dan hal lain yang menyimpang dari agama, kok dia bisa terbang atau yang lain yang sifatnya nyeleneh, kita bisa menengarai, itu pasti pemberiaan dari syetan atau ilmu sihir bukan sebuah karomah. (H-di)
Mbah Hamid Pasuruan
Kyai Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar Basyaiban BaAlawi dilahirkan di Lasem, Rembang, Jawa Tengah tahun 1333.H, dilahirkan dengan nama kecil “Abdul Mu`thi”. sejak kecil beliau dibimbing oleh ayahanda beliau, setiap hari beliau mengaji di mushola yang terletak persis di samping rumah beliau.

Naik Haji
suatu ketika KH.Siddiq singgah di Lasem dan langsung mengajak Kyai Hamid menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Rasululloh SAW. Sepulang dari Makkah pada usia 15 tahun beliau dipondokan ke pondok pesantren Tremas, pacitan.

mondok di tremas
pada periode Tremas inilah potensi spiritual kyai Hamid mulai terasa. kecemerlangan spiritualnya membuat kagum banyak pihak, hingga tidak sedikit kawan beliau menjadkan kyai Hamid sebagai guru, dan mengikuti jejak beliau ke Pasuruan.

menikah di pasuruan
kyai Hamid dinikahkan ddegan putri kyai ahmad qusairy kebonsari pasuruan. dan sejak itu beliau tinggal dan menetap di Pasuruan. kehidupan kyai Hamid teramat sederhana, beliau bekerja sebagai guru ngaji dan juga sebagai belantik. pekerjaan belantik itu di daerah bangil dengan jarak kurang lebih 15 km sebelah barat Pasuruan. setiap hari beliau ke sana dnegan menggunakan sepeda, beliau menjalani itu semua dengan tabah. sampai sampai beliau hanya mempunyai satu sarung yang sudah menerawang sangking tuanya sehingga setiap sholat beliau menutupinya dengan sorban.

berguru pada habib ja`far
periode pasuruan adalah periode emas dari perjalanan spiritual beliau. disinilah beliau mulai dan mungkin mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. di Pasuruan ini pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib kususnya dengan habib ja'far bin syaikhon assegaf pasuruan yang merupakan guru utama beliau. bersama habib ja`far inilah potensi spiritual beliau semakin terasa, hal ini diakui oleh habib ja`far bahwa dibanding murid yang lain, kyai hamid memiliki keunggulan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang lain. kekaguman dan kepercayaan habib ja`far diwujudkan dengan dipercayakanya Kyai Hamid untuk menjadi imam sholat Maghrib dan isya` di kediaman habib ja`far, meski demikian kyai hamid tetap tidak mengurangi takzim beliau kepada sang guru, begitu merendahnya kyai hamid dihadapan habib ja`far ibarat penda ditangan pemiliknya, Pena tidak akan bergerak jika tidak digerakan pemiliknya, demikian juga kyai hamid keberadaanya seakan hilang dan menyatu dengan habib ja`far. keunggulan kyai hamid di bidang keilmuan mungkin dapat diungguli oleh orang lain, namun dua hal menjadi kelebihan tesendiri bagi kyai hamid adalah sifat zuhud dan tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. bahkan ketika habib ja`far wafat ketika ziaroh ke makam habib ja`far kyai hamid sangking takzimnya dan tawadu nya tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki habib ja`far. inilah sifat tawaddhu beliau yang sangat tinggi.
Seperti umumnya anak cerdas, Hamid pada waktu kecil nakalnya luar biasa, sehingga dia yang waktu kecil dipanggil Dul ini panggilannya dipelesetkan menjadi Bedudul. Kenakalannya ini dibawa sampai menginjak usia remaja, dimana dia sering terlibat perkelahian dengan orang China yang pada waktu itu dipihak para penjajah. Pernah suatu saat dia ajengkel melihat lagak orang China yang sombong, kemudian orang China tersebut ditempeleng sampai klenger. Karena dia dicari-cari orang China kemudian oleh ayahnya dipondokkan ke Termas Pacitan. Sewaktu dia belajar di Termas sering bermain ke rumah kakeknya, Kiai Shiddiq di Jember dan kadang-kadang bertandang ke rumah pamannya Kiai Ahmad Qusyairi di Pasuruan. Sehingga, sebelum dia pindah ke Pasuruan, dia sudah tidak asing lagi bagi masyarakat disana.
Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.
Tawadlu’ dan Dermawan.
Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”, kata Durrah, menantunya.
Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.
Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.
Kiai Hamid yang wafat pada tahun 1982 juga dikenal sebagai orang yang dermawan. Biasanya, kebanyakan orang kalau memberi pengemis dengan uang recehan Rp. 100,-. Tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau kalau memberi tidak melihat berapa uang yang dipegangnya, langsung diserahkan. Kalau tangannya kebetulan memegang uang lima ribuan, ya uang itu yang diserahkan kepada pengemis. Tak hanya bentuk uang, tapi juga barang. Dua kali setahun beliau selalu membagi sarung kepada masing-masing anggota keluarga.
Orang Alim
Biasanya orang yang terkenal dengan kewaliannya hanya dipandang dari kenyentrikannya saja. Tapi tidak demikian dengan Kiai Hamid, beliau dipandang orang bukan hanya dari kenylenehannya, tapi dari segi keilmuannya, beliau juga sangat dikagumi banyak kiai. Karena, memang sejak dari pesantren beliau sudah terkenal menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu kanoragan, ketabiban, fiqih, sampai ilmu Arudl beliau sangat menguasai. Terbukti beliau juga menyusun syi’iran.
Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’.
Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.
Ijazah-ijazah
Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah (wirid) kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:

1. Membaca Surat Al-Fatihah 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.
2. Membaca Hasbunallah wa ni’mal wakil sebanyak 450 kali sehari semalam.
3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.
4. Membaca kitab Dala’ilul Khairat. Kitab ini berisi kumpulan shalawat.(m.muslih albaroni)
Sifat Zuhud Romo Kyai Hamid Pasuruan, Tidak mau menerima pemberian yang tidak jelas
Published on December 28, 2009 in Artikel Islam and Renungan.
Kita ketahui bahwa sifat wara’ adalah sifat yang selalu dimiliki Auliya’illah (kekasih Allah). Tidak ada seorang kekasih Allah SWT yang serakah, tamak dengan duniawiyah. Semua sifat yang masuk katagori penyakit hati telah dihapus atau dihilangkan pada diri seorang Auliya’illah. Begitu juga dengan Romo Kyai Hamid, beliau sungguh menjaga diri dari barang-barang yang subhat (barang yang belum jelas halal haram atau asal mulanya). Berikut ini adalah kisah kewara’an dan kezuhudan kyai Hamid yang pernah disaksikan sendiri KH. Abdurrahman Ahmad (adik ipar Kyai Hamid).
Alkisah pada suatu ketika ada seorang lelaki yang hendak bersilaturrahmi di kediaman kyai Hamid. Akan tetapi pada hari tersebut kyai Hamid sedang pergi keluar kota, dan akhirnya yang menemui tamu tersebut adalah adik ipar beliau yakni KH. Abdurrahman Ahmad
“Loh enten tamu…dugi pundi? enten keperluan nopo nggeh?” (loh, ada tamu…dari mana? ada perlu apa ya?) tanya KH. Abdurrahman.
“Oh, niki bade silaturrahmi dateng romo kyai Hamid… kulo dugi Malang, romo Yaine wonten?”(Oh, ini mau silaturrahmi ke kyai Hamid… saya dari Malang. Romo kyainya ada?) jawab lelaki itu.
“Oh… tamu saking kuto Malang, niku, sakniki kyai Hamid tasek medal dateng luar kota, monggo pinarak rumiyen” (Oh… tamu dari kota Malang, sekarang kyai Hamid masih ada di luar kota, mari silahkan masuk dulu), kata KH. Abdurrahman sembari mempersilahkan tamu tersebut masuk.
“Oh, matur sembah nuwun, nggih mpun lek ngoten, kulo bade tindak kundur soale tasek enten urusan, kulo nitip niki mawon.” (Oh, terima kasih banyak, kalau begitu saya mau pamit dulu, karena masih banyak urusan, saya nitip ini saja)
Lelaki Jawa itu sembari memberikan sebuah amplop. “Nggeh, mangke lek kyai Hamid pun rawuh kulo aturaken. Mator nuwun nggeh.” (Iya, nanti kalau kyai Hamid sudah datang saya kasihkan. Terima kasih). Jawab KH. Abdurrahman.
Akhirnya tamu itu pun pulang dan sayangnya KH. Abdurrahman lupa menanyakan siapa nama dan tinggal di kota Malang daerah mana pada orang itu.
Ke esokan harinya kyai Hamid sudah datang di kota Pasuruan dan KH. Abdurrahman pun memberikan titipan amplop dari seorang tamu kemarin.
“Yai, niki enten titipan dugi tiang Malang.” (Yai, ini ada titipan dari orang Malang). Kata KH. Abdurrahman sembari menyodorkan amplop tersebut kepada kyai Hamid.
Kyai Hamid-pun langsung membuka amplop tersebut, dan ternyata isinya adalah uang puluhan ribu (zaman dulu) yang jumlahnya tidak sedikit.
“Man! duwet iki mau teko sopo?” (Paman! uang ini tadi dari siapa?) Tanya kyai Hamid.
KH. Abdurrahman pun diam seribu bahasa. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut KH. Abdurrahman, beliau sangat bingung apa yang akan diucapkan kepada kyai Hamid.
“Mboten ngertos yai, kulo supe tanglet namine.” (tidak tahu yai, saya lupa tanya namanya). Jawab KH. Abdurrahman dengan tubuh yang gemetar karena takut dimarahi oleh kyai Hamid.
Pada akhirnya, firasat KH. Abdurrahman tentang marahnya kyai Hamid benar-benar terjadi. Kyai Hamid pun langsung menyodorkan amplop tersebut kepada KH. Abdurrahman sembari berkata
“Balekno… wes gak weroh carane, poko’e balekno!” (kembalikan…tidak tahu bagaimana caranya, pokoknya harus dikembalikan).
Setelah berkata seperti itu, kyai Hamid pun langsung meninggalkan KH. Abdurrahman.
Kebingungan mulai menyelimuti diri KH. Abdurrahman. Berkali-kali beliau memutar otak, tetap saja tidak menemukan solusi yang tepat untuk bisa segera mengembalikan uang titipan tersebut.
“Yo’opo iki… kuto Malang iku gede, jeneng ae orah weroh. Lah teros yo’opo nggolekine?” (bagaimana ini… kota Malang itu besar, namanya saja tidak tahu. Lalu bagaimana cara mencarinya?) gumam dalam hati KH. Abdurrahman.
Akhirnya beliau memilih melakukan inisiatif yang lain. Yakni, beliau pergi menyusuri kota Malang dengan membawa harapan agar bisa bertemu dengan orang yang menitipkan uang untuk kyai Hamid
“masio orah weroh jenenge sa’enggak’e aku isek weroh wajahe” (walau pun tidak tahu namanya, akan tetapi setidaknya aku masih mengenali wajahnya) gumam beliau.
Beliau pun berangkat menuju kota Malang dengan langkah kaki gontai. Sesampainya di kota Malang beliau kebingungan di mana beliau akan memulai mencari orang tersebut. Tak henti-hentinya beliau menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tetapi hasilnya tetap saja nihil. Ketika sinar matahari perlahan meninggalkan ujung timur bumi ini, akhirnya belaiu pun memutuskan untuk pulang ke Pasuruan. Sesampai di kota Pasuruan rasa suntuk, gelisah dan capek terus menggelayuti beliau.
Tidak sekali itu saja KH. Abdurrahman berikhtiar mencari orang tersebut, bahkan beliau sampai tiga kali berturut-turut pulang-pergi Malang-Pasuruan. Ketika hari ketiga tak kunjung berjumpa, akhirnya KH. Abdurrahman pun merasa frustasi dan memutuskan untuk menghentikan pencarian orang tersebut.
Singkat cerita, selang beberapa hari, ketika KH. Abdurrahman sedang berada di komplek pondok pesantren Salafiyah, ada sosok lelaki yang berjalan mendekati komplek pesantren tersebut, beliau pun terus mengamati orang itu. Ketika mendekat, beliau pun mulai merasa pernah mengenali wajah orang itu yang tak lain adalah orang yang beliau cari-cari selama ini, yakni orang yang menitipkan sebuah amplop untuk kyai Hamid. Tanpa berfikir panjang beliau langsung berlari menghampiri orang tersebut.
“Assalamu’alaikum… panjenengan tiang sing nate nitipi kulo amplop niku nggeh?” (Assalamu’alaikum… anda orang yang sempat titip amplop kepada saya?) sapa KH. Abdurrahman.
“Wa’alakumsalam…, nggeh! Yak nopo, sampun panjenengan aturaken dateng kyai Hamid? Niki kulo meriki bade silaturrahmi male dateng romo yai, nopo romo yai ne enten sa’mangkin?” (Wa’alaikumsalam… iya! Bagaimana sudah di sampaikan amplopnya kepada kyai Hamid? Ini saya ke sini lagi mau silaturrahmi ke rom kyai, apa romo kyai ada?) jawab lelaki itu.
“sakderenge kulo nyuwun ngapunten dateng panjenengan so’ale amplop niku dereng kulo sampek aken dateng kyai Hamid, lah sakniki kyai Hamid enten, niki panjenengan paringaken kiambek, mator nuwun nggeh.” (sebelumnya saya minta maaf karena amplopnya masih belum saya kasihkan kepada kyai Hamid, sekarang kyai Hamid ada, jadi anda kasihkan sendiri saja, terimakasih.” Jawab KH. Abdurrahman sembari menyodorkan amlplop kepada lelaki itu.
“Nggeh pon mboten nopo-nopo, kulo bade teng romo kyai riyen.”(ya sudah terimakasih, saya mau ke romo kyai dulu, terimakasih ya.) jawab lelaki itu.
Akhirnya KH. Abdurrahman bisa bernafas lega setelah lelaki tersebut menerima amplop itu. Gara-gara amplop berisi uang tersebut, KH. Abdurrahman sampai terpontang-panting selama satu pekan dengan selalu dihantui rasa cemas dan lain sebaginya. Sebaiknya kita dapat mengambil ibrah (pelajaran) dalam kisah ini. Agar kita tidak mudah menerima pemberian dari orang lain yang tidak jelas.